Menjahit Harapan dari Luka Batin, Dari Solo untuk Indonesia
Usai mengikuti talkshow yang diselenggarakan Astra dengan Solopos Media Group beberapa waktu lalu saya mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan mental. Sesuatu yang mungkin hingga saat ini dianggap remeh. Satu kondisi yang bila terus dibiarkan akan berdampak pada kejiwaan seseorang.
![]() |
dokumen pribadi |
Dengan lugas Triana Rahmawati, pemenang SATU Indonesia Awards 2017 untuk bidang kesehatan itu mengatakan bahwa orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) ini jumlahnya cukup banyak. Bahkan di lingkungan dia tinggal (Solo) jumlahnya mencapai ratusan.
Agar mereka ini tidak kian parah tentu harus ada tindakan nyata. Dengan cara ini pula diharapkan jumlah yang ada bisa diminimalisir. Jangan sampai kemudian kita hidup dijaman yang serba berat tambah berat dengan adanya penyakit mental ini.
Dosen Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta ini sepakat bahwa penyakit kejiwaan ini tidak bisa sembuh secara total. Hanya saja kemudian potensi yang ada bisa ditekan seoptimal mungkin sehingga ODMK bisa hidup layaknya manusia normal.
Menurut perempuan berkacamata ini, mereka ini pun tidak ingin diperlakukan aneh atau beda dengan yang lain. Hanya saja seringkali stigma yang muncul membuat orang-orang ini terpinggirkan.
Cikal Bakal Lahirnya Griya Schizofren
Karena keprihatinan inilah kemudian Tria, begitu biasa disapa bersama dengan teman kuliahnya membangun rumah singgah yang diberi nama Griya Schizofren. Bukan hanya sekadar bangunan tapi ada harapan tersemat di dalamnya
Tempat dimana para penderita Schizofrenia bisa belajar dan melakukan sesuatu. Tria bersama relawan yang ada seolah menjadi jembatan antara dunia ‘orang normal dengan penyintas gangguan jiwa atau yang lebih dikenal dengan ODMK.
Pada suatu sore jelang berbuka puasa, Tria berada di angkringan dan hendak membeli makanan untuk berbuka. Disaat itu pula ia mendengar suara adzan dan mengonfirmasi kepada si ibu dan dengan polos ibu angkringan mengatakan, "mbak kui wong edan."
Batinnya bergejolak, ada yang salah dan ada yang harus dilakukan untuk membantu mereka secara nyata. Terlebih kala itu ia adalah mahasiswa Sosiologi, tentu batin kian berkecamuk.
Dengan ketulusan, ketekunan dan empati, Tria berhasil membuka mata banyak pihak bahwa ODMK bukan sekadar objek belas kasihan. Mereka ini adalah manusia yang berhak kembali berdaya dan dihargai layaknya manusia pada umumnya.
Dari pengalaman yang ada dan apa yang ia rasakan ODMK menjadi awal untuk kemudian seseorang mendapat diskriminasi. Padahal mereka ini harusnya menjadi pihak yang dirangkul dan digandeng.
Tak jarang ditemukan ada keluarga yang kemudian merasa malu, lingkungan menjauh, bahkan dalam beberapa kasus ada yang tega memasung atau mengikat anggota keluarga sendiri karena dianggap sebagai aib.
Kenyataan pahit inilah yang kemudian membangkitkan tekad, harus ada pihak yang peduli kepada orang-orang ini. Dan hal kecil itu dulu telah dimulai dengan membangun Griya Schizofren. Dan kini manfaat baik itu kian dirasakan lebih banyak karena jumlahnya mencapai ratusan.
Lebih dari Sekadar Rumah Singgah
Didirikan dengan semangat kebersamaan, Griya Schizofren tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal sementara atau pusat rehabilitasi. Lebih jauh, griya ini menjadi wadah pemberdayaan sehingga mereka bisa produktif.
Proses penyembuhan tidak cukup dengan obat, tetapi juga dengan aktivitas bermakna yang menumbuhkan rasa percaya diri. Jangan kaget kemudian bila melihat hasil karya mereka yang begitu apik.
Hasil karya mereka kemudian dijual dan keuntungan yang diperoleh bukan sekadar nominal uang, melainkan simbol bahwa mereka masih mampu berkarya dan dihargai.
Tria memahami bahwa proses pemulihan mental sangat erat kaitannya dengan dukungan sosial. Karena itu, griya ini juga menjadi ruang belajar bagi masyarakat. Keluarga pasien diajak untuk memahami kondisi skizofrenia, sementara relawan dilibatkan agar tumbuh iklim inklusi yang lebih luas.
Menghadapi Stigma dengan Edukasi
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi tentu saja stigma negatif. Banyak masyarakat masih beranggapan bahwa ODMK itu berbahaya karena tidak waras. Padahal dengan treatment yang tepat dan dukungan yang memadai, banyak penyintas yang bisa kembali produktif dan kembali kelingkungan keluarga.
Untuk itu Griya Schizofren rajin menggelar diskusi, seminar, dan kampanye publik. Tria bersama tim kerap turun langsung ke lapangan, sekolah, komunitas, hingga forum pemerintah untuk menjelaskan bahwa skizofrenia tidak seperti yang banyak orang kira.
Edukasi menjadi kunci, karena perubahan persepsi masyarakat akan membuka jalan bagi inklusi yang lebih nyata. Kegiatan yang akan terus dijalankan untuk menghilangkan stigma negatif yang ada.
Keberanian Tria dalam menghadapi stigma menunjukkan keteguhan hatinya. Ia tidak hanya menjadi penggerak di balik Griya Schizofren, tetapi juga menjadi suara bagi mereka yang selama ini memilih diam.
Jejak Inspirasi, Dari Solo untuk Indonesia
Kiprah Triana Rahmawati mulai menggema ke Solo. Banyak komunitas kesehatan mental di luar Solo terinspirasi dari langkahnya. Griya Schizofren menjadi contoh bagaimana gerakan berbasis masyarakat mampu memberi solusi ketika negara belum sepenuhnya hadir.
Triana membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari tindakan kecil, dari keberanian seorang individu yang mau mendengarkan dan memahami. Ia menolak menyerah pada kenyataan pahit, dan justru menenun harapan baru dari luka yang sering diabaikan.
Posting Komentar untuk "Menjahit Harapan dari Luka Batin, Dari Solo untuk Indonesia"